“Mobil Uwa, Umroh, dan Masuk Angin”
Sore itu, 13 Mei 2025, langit Jonggol mendung tipis. Adem, cocok banget buat jalan-jalan sore. Suamiku tiba-tiba nyeletuk, “Pinjam mobil Uwa, yuk? Katanya lagi nganggur, sayang kalau cuma parkir doang.”
Aku langsung angguk, semangat. Bayangin bisa jalan-jalan ke Citra nggak naik motor, nggak ribet sama jas hujan atau helm berantakan. Afnan juga kayaknya bakal senang, bisa lihat-lihat jalan sambil duduk manis di kursi belakang.
Mobil Uwa akhirnya nongkrong di depan kantor. AC-nya dingin dan aroma mobilnya khas, campuran parfum gantung lawas dan kenangan keluarga besar. Kami pun meluncur santai, melewati jalanan sore yang ramai tapi nggak terlalu padat.
Belum lama jalan, obrolan random muncul seperti biasa.
“Buy,” kata aku sambil lihat suami setir mobil, “mending beli mobil dulu atau umroh ya?”
“Hmm… mobil itu kenyamanan dunia. Umroh itu bekal akhirat. Tapi kita hidup di dunia juga, dan dunia ini panas.”
Kami tertawa. “Ya jadi gimana?”
“Ya... pengennya dua-duanya dong. Tapi kalau boleh milih satu dulu, ya... kita lihat kondisi keuangan kita.”
Kami tertawa, tapi dalam hati mikir beneran. Nabung dua-duanya susah, tapi niat dua-duanya insyaAllah nggak susah.
Sayangnya, Afnan di kursi belakang mendadak meringkuk. “Peyut Neng sakit, umma,” katanya lemes.
Qadarullah, si kecil masuk angin. Padahal rencana piknik mini udah disusun rapi di kepala. Jalan-jalan ke Citra pun berubah jadi misi cepat: beli air kelapa, lalu mampir makan di kebuli Abuya.
Setelah sampai di kebuli Abuya, Afnan malah nggak mau makan. Tubuhnya lemes, wajahnya pucat. “Peyut Neng sakit, umma” katanya, sambil tiduran di kursi.
Nggak bisa makan, jadi akhirnya kami bungkus saja nasi kebuli itu. “Ya udah, kita balik dulu, Afnan harus sehat,” kata suamiku sambil matiin mesin mobil Uwa. Kami bergegas pulang, meskipun niat jalan-jalan terpaksa batal.
Sambil nyetir di jalan pulang, obrolan yang tadi lanjut lagi.
“Ya udah, sementara ini pinjam mobil Uwa dulu,” katanya sambil fokus ke jalan. “Umroh masih di list. Yang penting Afnan sehat dulu.”
Aku tersenyum, merasakan kedamaian meski segala sesuatunya nggak berjalan sesuai rencana. “Iya, yang penting keluarga sehat. Rezeki kan bakal nyusul.”
Setibanya di rumah, aku langsung siapkan Zoom untuk kelas Speaking Partners sementara suamiku dengan sabar kompresin perut Afnan pakai minyak but-but dan bawang merah, obat ampuh jaman dulu yang selalu jadi penyelamat keluarga.
Kadang, hidup tuh sesederhana itu: niat besar, kenyataan kecil, tapi hati tetap hangat.
Afnan tidur pulas setelah diperawatan, dan aku kembali menatap layar, meski pikiran masih berputar soal mobil dan umroh.
Mungkin, dari mobil pinjaman ini, langkah kita justru menuju mimpi yang lebih besar. Siapa tahu, nanti Allah kasih rezeki entah mobil sendiri, atau perjalanan ke Tanah Suci.
Atau mungkin keduanya, dalam waktu yang pas, dengan ridho-Nya.