Apa sih yang membuatku iri pada orang lain? Ternyata jawabannya macem-macem geess. Ada kalanya aku iri melihat orang lain yang hidupnya lebih mapan, punya rumah lebih besar, atau fasilitas yang lebih lengkap. Kadang iri juga muncul saat melihat teman sebaya yang sudah meraih banyak pencapaian, sementara aku merasa jalanku masih tertatih. Bahkan ada juga rasa iri pada hal-hal kecil, seperti sifat orang yang sabar, tenang, atau lebih percaya diri dibanding aku.
Iri itu rasanya nggak enak banget. Seolah-olah hati jadi sempit, susah ikut bahagia dengan kebahagiaan orang lain. Tapi di sisi lain, aku sadar iri itu fitrah manusia. Bedanya, tinggal aku mau membiarkannya jadi penyakit hati, atau mengolahnya jadi energi positif.
Aku belajar bahwa iri bisa berubah jadi semangat asal diarahkan. Dalam Islam, ada yang namanya ghibthah rasa ingin seperti orang lain dalam hal kebaikan, misalnya iri pada orang yang diberi ilmu lalu membaginya, atau orang yang diberi rezeki lalu menginfakkannya. Itu iri yang justru dianjurkan, karena mendorong kita menambah amal.
Aku juga coba melatih diri untuk lebih sering bersyukur. Menulis daftar kecil hal-hal yang Allah kasih: kesehatan, keluarga yang mendukung, kesempatan belajar, bahkan kemampuan untuk menulis dan berbagi cerita. Semua itu nggak kalah berharganya, hanya saja kadang aku yang lalai melihatnya.
Satu hal lagi yang membantu, aku coba doakan orang yang membuatku iri. Awalnya terasa berat, tapi lama-lama hati lebih ringan. Kalimat sederhana seperti, "Ya Allah, berkahilah dia, dan berikan juga kebaikan untukku," bisa bikin hati jadi lebih tenang.
Dan yang paling penting: fokus pada jalan sendiri. Hidup ini bukan lomba siapa paling cepat sampai garis finish. Setiap orang punya waktunya, punya jalannya. Tugas utamaku bukan menyaingi orang lain, tapi memastikan hari ini lebih baik daripada kemarin.
Kadang iri memang datang lagi, tapi semoga kali ini aku lebih siap mengelolanya. AAMIIN YAA RABBAL'ALAMIN
#JournalingDay12


Tidak ada komentar:
Posting Komentar