Aku nggak akan bohong ada hari-hari di mana emosi rasanya udah di ubun-ubun. Bukan cuma marah, tapi juga capek, kecewa, ngerasa nggak dimengerti, bahkan kadang ngerasa jauh dari diri sendiri. Dan sebagai manusia biasa, Tapi makin ke sini, aku belajar satu hal penting:
Menjadi tenang itu nggak datang dari luar, tapi dari dalam dan salah satu sumber ketenangan terbesar yang aku punya adalah Allah.
Tapi ya, perjalanan ke arah sana nggak selalu mulus. Nggak semua bentuk menenangkan diri itu kelihatan ‘religius’ dari luar. Tapi buatku, semuanya nyambung, semuanya bagian dari ikhtiar untuk tetap waras dan tetap dekat sama Allah di tengah kekacauan hati.
1. Menarik Diri, Tapi Niatnya Bukan Kabur
Saat marah atau kecewa, hal pertama yang aku lakukan biasanya adalah diam. Nggak ngebales chat, nggak angkat telpon, bahkan kadang ngehindar dari orang rumah. Tapi aku nggak mau itu jadi bentuk lari. Aku tarik diri untuk meredam biar nggak menyakiti orang lain dengan kata-kata yang mungkin nggak bisa ditarik kembali.
Dalam hati, aku bilang: “Ya Allah, jaga lisanku. Jangan sampai aku nyesel nanti
2. Wudhu Biar Api Dalam Diri Padam
Waktu aku lagi benar-benar meledak, kadang aku langsung ke kamar mandi buat wudhu. Nggak selalu langsung jadi tenang sih, tapi wudhu itu kayak tombol reset buatku. Sejuknya air di kulit, dan niat buat membersihkan hati, somehow bisa menurunkan marah itu.
Nabi Muhammad ο·Ί pernah bersabda:
“Marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api. Maka padamkanlah api itu dengan air.” (HR. Abu Dawud)
Dan aku percaya itu.
3. Shalat, Meski Kadang Air Mata udah Turun Duluan
Jujur aja, kadang aku shalat dalam keadaan masih gemetar karena emosi. Tapi anehnya, di rakaat kedua, aku mulai nangis. Bukan karena sedih aja, tapi karena ngerasa lemah. Ngerasa capek. Dan ngerasa cuma Allah yang benar-benar ngerti isi hati ini.
Aku nggak selalu bisa khusyuk. Tapi aku percaya: Allah tahu usahaku.
4. Nulis, Biar Nggak Mendem
Aku juga suka nulis, entah di jurnal, di notes HP, atau di selembar kertas yang nanti bakal aku sobek. Tapi kali ini, aku nulis sambil nyelipin doa.
Misalnya:
"Ya Allah, aku nggak tahu harus gimana. Tapi tolong bimbing aku, tuntun aku supaya nggak nyakitin siapa pun, termasuk diriku sendiri."
Menulis itu cara aku berdialog sama Allah secara jujur. Apa adanya.
5. Dengerin Murottal atau Zikir Pelan-pelan
Kadang aku pasang murottal. Atau sekadar dzikir pelan, ulang-ulang:
"Hasbunallah wani'mal wakil"
"La hawla walaa quwwata Illa billah"
"Astaghfirulloh"
Pengingat, kalau kekuatan itu datangnya bukan dari marah, tapi dari sabar.
6. Cerita, Tapi Pilih yang Tepat
Kalau udah agak tenang, biasanya aku cerita ke satu dua orang yang aku percaya. Tapi sebelum itu, aku udah cerita ke Allah dulu. Kadang aku bilang gini dalam hati:
"Ya Allah, aku udah ngomong sama-Mu, sekarang aku cuma butuh teman yang bisa denger, bukan ngehakimi."
Dan biasanya, setelah itu, beban di dada agak ringan. Walau nggak sepenuhnya hilang, tapi cukup buat jalan lagi.
7. Tidur, Kalau Semua Masih Berat
Iya, tidur. Karena kadang, itu juga bentuk tawakal. Udah usaha, udah doa, udah nahan kalau masih berat, aku pasrah dulu lewat tidur.
Dan besoknya, biasanya bisa mikir lebih jernih.
Aku bukan orang paling sabar. Tapi aku sedang belajar untuk jadi tenang bukan karena aku kuat, tapi karena aku tahu, aku nggak sendiri.
Karena Allah dekat dengan hati yang remuk sekalipun.
Karena dalam marahku pun, Allah tetap Maha Menjaga.
Kalau kamu juga lagi belajar menenangkan diri, semoga kamu tahu.
Allah nggak pernah jauh, bahkan saat kamu lagi paling berantakan.
#JournalingDay15